Cerpen : Ingatan Masa Muda Yang Menyebalkan

Post a Comment




Secercah sinar sang surya yang menembus jendela kamar pagi ini, membuat kau bangun lebih
telat dari biasanya. Tanpa sadar semangkuk bubur dan air putih yang hampir memenuhi gelas
itu telah berdiam diri di atas meja yang berada di sisi ranjang yang kau tiduri saat ini. Entah
sejak kapan semua ini di sediakan. Mungkin, karena bius yang diberikan perawat semalam
membuat kau tertidur lebih lelap dari biasanya.
Belum genap semenit kau memikirkan semua ini, terdengar ketuk pintu dan langkah kaki
mendekati dirimu. Tak lain lagi ia adalah Rosania, wanita tangguh yang setia menemanimu
setiap saat. Entah apa yang membuatnya rela menemani lelaki tua penyakitan ini. Lelaki
miskin tanpa satu keturunan pun yang berhasil kau berikan padanya. Mungkin, hanya ada
beberapa saja wanita seperti dirinya di belahan dunia ini. Atau mungkin kau hanya terlalu
berlebihan memujinya karena terlalu mencintainya.
Tanpa kau minta dengan sepasang senyum Ia mengayunkan lekuk indah tangannya mengarah
ke mulutmu. Sesendok adukan bubur tadi telah memenuhi mulutmu dan berhasil masuk
dalam perutmu setelah perlahan-lahan melalui tenggorokanmu. Sesuap demi sesuap ia
loloskan ke sela-sela bibirmu. Tanpa sadar dirimu seolah-olah telah terhipnotis olehnya
karena merasa hari ini lebih lahap menyantap sarapan dari pada hari-hari sebelumnya. Tak
terpikir olehmu sejak kapan nafsu makan ini datang dan hinggap dalam tubuh seraya merayu
dirimu untuk sesegera mungkin menghabiskan semangkuk bubur itu.
Sebelum kau berhasil melahap habis sarapan pagimu, tiba-tiba datang lagi seseorang
menghampiri dirimu. Nampaknya kau sedikit kebingungan dengan hadirnya seseorang yang
baru saja datang dan langsung menatap wajahmu ini.
�Hai, bagaimana kabarmu kawan?�
�Maaf, anda siapa? Maaf, aku tak membawa kacamataku.�
�Aku Sohwan sahabat karibmu, masa kau lupa dengan wajahku. Kau lihat ini kumisku selalu
lebih tebal dari milikmu sedari dulu kita berteman.�
Tiba-tiba saja tanganmu seolah bergerak sendiri mengelus-elus kumismu yang memang tak
kunjung tumbuh lebat seperti milik sahabat karibmu itu. Entah apa yang lucu, tiba-tiba kau
tertawa terbahak-bahak.
�Ah, dasar kau! selalu saja membandingkan kumis yang kita miliki ini. Bahkan saat kita
masih duduk di bangku sekolah dahulu.�
�Haha, tentu saja karena semua orang tau bahwa aku ini lebih jantan dari darimu. Lihat saja,
menginjak umur kita yang akan genap 40 tahun di tahun ini, kumismu tak kunjung lebat.
Berbeda dengan punyaku yang bahkan beberapa sudah berwarna putih.�
Dia Sohwan memang selalu berhasil membuat kau tertawa lepas. Dia sahabatmu yang datang
menjengukmu pagi itu. Tapi, kau sedikit memprotes dirinya menanyakan mengapa baru
menjengukmu hari ini, yang padahal kau sudah hampir dua pekan berada di rumah sakit.

�Maafkan aku, kemarin aku ada pekerjaan ke luar kota. Sebenarnya aku sudah kirim kau e?mail untuk memberitahumu bahwa aku sedang di luar kota.�
Tanpa kau minta, kalimat demi kalimat dan kata demi kata keluar begitu saja untuk mencoba
memaafkan dirinya. Sahabat terbaikmu dan akan selalu menjadi sahabatmu mungkin lebih
dari itu. Karena kau beranggapan, persahabatanmu tak dapat digambarkan seperti
persahabatan kebanyakan orang pada biasanya. Bahkan sesekali kau mengira-ngira bahwa
persahabatanmu itu lebih hebat di bandingkan persahabatan Rasul dengan para sahabatnya.
Saat kau asik berbincang dengan sahabatmu, perawat datang menyapa sambil membawa
beberapa peralatan medis yang tak kau hafal satu pun namanya. Terlalu larut dalam
pertemuan di balik kalutnya rindu itu sampai membuatmu tak sadar bahwa kau sedang di
rawat. Dan kau tersadarkan oleh perawat muda itu yang dengan sebuah peralatan medis
bergantung di balik kerah bajunya yang kau anggap mirip dengan head set itu baru saja
datang dan meminta izin kepadamu seraya menarik tanganmu dan menyuntikkan sebuah
cairan ke dalam tanganmu melewati lubang pori-pori di atas kulit-kulitmu.
Setelah selesai dengan urusannya perawat itu pergi tanpa mengucapkan apa pun barang
sepatah kata dan mengajak istrimu ke luar dari ruangan. Entah ke mana pun perginya, yang
jelas perawat itu pergi bersama wanita yang kau cintai. Mungkin, ada sesuatu yang ingin
dibicarakannya tanpa sepengetahuanmu. Terbesit dalam pikirmu, bahwa umurmu sudah tak
lama lagi. Sehingga perawat itu tak ingin memberitakan hal seperti itu padamu, atau mungkin
itu hanya sebuah paranoid yang menghantuimu saat-saat ini. Sesekali kau kerap
membayangkan ketika kau bertemu dengan malaikat yang bertanya di alam kubur itu.
Bahkan kerap kali kau bercerita pada istrimu tentang cerita-cerita indah dalam Surga, yang
ayah dan ibumu ceritakan dalam mimpimu.
Tak usai-usai kau memikirkan tentang kematian, tiba-tiba kau mengingat atau pun
mengenang masa muda yang kau anggap menyebalkan selama ini. Tanpa rasa bosan,
sahabatmu rela menghabiskan waktunya mendengarkan keluhan-keluhanmu tentang segala
apa yang menimpamu selama ini. Meskipun kau telah berkali-kali menceritakan peristiwa ini
kepadanya.
Sesaat kau sedang bercerita, sahabatmu tiba-tiba memotong ceritamu yang belum juga
rampung keseluruhan isinya kau ceritakan melalui mulutmu. Entah apa yang membuatnya
memotong sebuah cerita yang sebenarnya ia pun sudah tahu tentang bagaimana akhir dari
ceritanya. Kau menduga-duga bahwa sahabatmu itu tak nyaman dengan bau mulutmu yang
khas dengan aroma obat-obatan dan orang sakit.
Belum selesai memikirkannya sebuah kalimat keluar dari mulut sahabatmu itu,
�Apakah kau masih menyimpan dendam dengan pabrik itu sahabat? Sudah ikhlaskanlah
semuanya sudah menjadi rencana-Nya.�
�Ah, iya kau benar. Mungkin sudah saatnya aku mencoba untuk memaafkan dan berbesar
hati.�
Sambil menunggu perawat dan istrimu datang, kembali kau lanjutkan perbincanganmu
dengan sahabatmu itu membahas tentang apa yang selalu kau anggap menyebalkan selama
ini. Karena kau tetap pada pendirianmu tentang betapa menyebalkannya melihat banyaknya
orang-orang di luaran sana yang menghabiskan waktunya dan mengorbankan tenaganya

hanya demi menggait beberapa peser uang yang disebut-sebut sebagai gaji itu. Bukan hanya
itu, kau juga beranggapan tentang betapa menyebalkannya melihat ratusan bahkan mungkin
ribuan orang yang bersusah payah mengorbankan segalanya agar terdaftar sebagai seorang
pegawai di berbagai pabrik-pabrik besar.
Mungkin bukan sebab yang pabrik itu produksikan sesuatu yang kau anggap haram atau apa
pun itu. Kau membencinya karena perlakuan mereka terhadap pegawai-pegawainya yang
terbilang kurang manusiawi. Bagaimanapun juga semua pemikiran itu mulai tumbuh saat
kecelakaan yang menimpamu waktu itu. Ya, benar sekali. Kecelakaan yang menyadarkanmu
dari berbagai tindakan yang kau anggap sebagai sesuatu kebodohan yang berakhir dengan
penyesalan.
�Lagi-lagi? Pabrik itu? Persetan dengan pabrik itu!�
�Ah, maafkan aku sahabat. Mungkin lain kali kita tidak memperbincangkan masalah seperti
ini lagi.�
Tiba-tiba emosi dalam dirimu meluap begitu saja ketika Sohwan menceritakan sebuah
kecelakaan yang menimpa seseorang yang juga pernah menjadi rekan kerjamu di masa
mudamu itu. Dan tiba-tiba saja dengan lantang kau mengutuk pabrik itu, mungkin bukan
sebuah pemandangan yang baru bagi sahabatmu, karena ia sudah sering mendengarnya lebih
dari siapapun.
Sohwan mengenalmu lebih dari siapapun, bahkan dirinya merelakan satu-satunya bagian
keluarganya yang tersisa adiknya Rosania, untuk kau nikahi dan menemanimu walaupun kau
merasa tak pernah dapat membahagiakannya. Mungkin tanpa dirinya, kau sudah tidak berarti
lagi. Kau tidak akan termotivasi untuk melanjutkan hidup setelah kejadian mengenaskan itu.
Dan kau mungkin tidak akan pernah memaafkan pabrik itu tentang bagaimana mereka
memperlakukanmu setelah kecelakaan itu jika tidak ada mereka. Begitulah pabrik-pabrik
besar itu, pembesar-pembesar pabrik itu hanya memedulikan nasib dan kemajuan pabrik,
tentang kecelakaan pegawai hanya dianggapnya sebagai sebuah risiko-risiko kecil yang tak
perlu dapat perhatian lebih.
Tak terasa jarum jam telah menunjuk ke arah 10 dan tampaknya perawat dan istrimu telah
sampai ke ruanganmu kembali. Dan perawat itu berkata bahwa kau sudah di ijin kan untuk
meninggalkan rumah sakit sore ini. Belum lagi sempat kau menjawab perawat itu, sahabatmu
sudah menyelanya terlebih dahulu.
�Ah, akhirnya kita bisa kembali ke rumahmu. Sahabat perlu kau ketahui, saat aku ke luar kota
kemarin. Aku bawakan kau cerutu dengan tembakau terbaik di kota itu. Mungkin akan sangat
nikmat jika kita hisap bersama-sama.�
Bagaimanapun cara mereka memperlakukanmu, hanya mereka yang selalu berhasil membuat
kau tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak sekalipun lelucon sahabat dan istrimu tak
terbilang lucu sekalipun. Kau memang dapat tersenyum ataupun tertawa, tetapi sayangnya
kau bahkan tak bisa membohongi dirimu sendiri.
Dalam hati kau menangis, tak satu pun seseorang yang tahu. Kau menangis dalam
kesendirian, bersembunyi seperti seseorang yang lari ketakutan karena mendengar lolongan anjing. Itulah dirimu, kau yang menangis bahkan tak mampu membendung tangismu itu
karena tak tahu harus bagaimana cara membalas segala kebaikan mereka.
Kau bahagia dapat mengenal mereka berdua, sangat-sangat bahagia. Kau bersedih dan
bahagia telah mengenal mereka. Sosok adik � kakak yang menemani keseharianmu, dengan
seorang kakak yang menjadi sahabatmu sedari kecil dulu, dan seorang adiknya yang
kauperistri yang tetap menemanimu di sisimu meskipun kaki kananmu tak lagi menjadi
bagian dari anggota tubuhmu. Kau tidak peduli bagaimana nasib kaki kananmu yang di
angkat oleh dokter sebab kecelakaan dalam pabrik sialan itu. Tak pernah sekali pun kau
bertanya keberadaan kaki kananmu, kau hanya menanyakan tentang penyakit yang kau idap
yang terjangkit menyatu dengan tubuhmu itu. Penyakit yang membuatmu tak dapat
membahagiakan adik dari sahabatmu sendiri. Penyakit yang membuatmu harus menikmati
masa-masa bersama selamanya. tanpa satu pun buah hati menemani hari-harimu
bersamanya.
Perasaan yang tercampur aduk itu, antara bahagia dan sedih mengalir begitu saja, mengikuti
bunyi not piano yang di lantunkan berkat gemulai jari jemari lelaki muda di depan hembus
angin pendingin ruangan itu. Seketika kau larut di dalamnya, entah kau larut dalam
kebahagiaan atau sekadar larut dalam duka yang mendalam, kebahagiaan sesaat kau
menerima slip gaji di pabrik itu tak ada apa-apanya ketika bahagiamu melihat dua saudara
kandung ini tersenyum bahagia bersamamu. Hari telah sore, matahari ingin menyembunyikan
sinarnya untuk berganti tugas dengan sang bulan. Waktu untuk kau meninggalkan tempat
yang membuat hari-harimu tidak bertambah baik. Selamat tinggal rumah sakit.
Di perjalanan pulang tiba-tiba kau melihat gerombolan muda-mudi lengkap dengan setelan
hitam putihnya, khas dress code bagi mereka yang ingin melalui sesi wawancara sebagai
formalitas bagi mereka para pelamar pekerjaan di pabrik-pabrik itu. Kau mencoba
menghitung jumlah mereka para pelamar kerja itu, dan yang membuatmu terkejut ialah
betapa banyaknya orang-orang yang mengantre untuk ikut ambil bagian dari wawancara itu,
sehingga kau tak dapat dengan jernih menghitung keseluruhan peserta yang mengikuti.
Tanpa kuasa apa pun di sisimu, jangankan untuk melangkah. Mengenang masa lalu saja kau
larut berlebihan di dalamnya. Tapi otak cerdas yang kau miliki selalu memikirkan tentang
adanya sebuah perubahan dari pola pikir muda-mudi yang berbondong-bondong
mendaftarkan diri mereka ke jurang kecelakaan itu. Kau mungkin terlalu berlebihan
mengutuk pabrik tempat kau menghabiskan masa mudamu itu. Karena bagaimanapun juga
tak semua pabrik seperti itu. Kekecewaan ini seolah telah mengakar dalam hatimu menjadi
sebuah kekhawatiran akan terjadinya kecelakaan yang terulang kembali seperti yang kau
alami. Di tambah lagi cerita dari sahabatmu tentang kejadian yang hampir sama menimpa
salah satu pegawai di pabrik itu baru-baru ini.
Di jalan yang beraspal hitam legam itu, dengan suara khas kendaraan-kendaraan bermotor
yang mengiringi jiwa, raga, serta kenangan masa lalu saat pulang ke rumah. Kembali
kenangan pahit itu mengoyak jiwamu selepas kau melewati perusahaan tempat kau bekerja,
tempat yang menjadi saksi bisu atas apa yang menimpamu selama ini dan nasibmu. Lalu
barang setengah kilo meter dari perusahaan, setelah kau menengok keluar jendela mobil dan
kau dapati di dalam sebuah ruangan megah berlampu kuning terang, kau dapati seorang pria
gemuk beserta istrinya sedang menikmati jamuan di sebuah restoran mewah pinggir jalan itu.
Kau hafal betul wajah itu tidak asing bagimu, benar sekali setelah mengingatnya barang lima menit, kau kembali ingat akan wajah itu, dan wajah itu adalah wajah seorang direktur bekas
pabrik tempat bekerjamu dulu, dan kau lihat dirinya sedang bersuka ria sambil menyantap
hidangan mewah.
Wajahmu memerah, kesal terhadap orang yang sama sekali tak mengenalmu. Lagi-lagi kau
mengutuk pabrik itu dan mengutuk seorang pria gemuk yang sama sekali tak peduli dengan
nasib dirimu yang pernah menjadi seorang pegawai di perusahaan miliknya. Bahkan dirinya
sama sekali tak mengenali wajahmu, bahkan jika kau mencoba untuk menegurnya. Meskipun
kau telah banyak berkorban demi kepentingan perusahaan yang ia miliki, ia tak akan pernah
peduli dengan dirimu.
�Keparat!!!�

Karya : Lutfi/Jenong
Bekasi, 18 Juni 2019

Related Posts

Post a Comment