Cerpen : Nasihat Arif Sang Kyai

Post a Comment

�Barang siapa yang bersabar dan menangguhkan kesabarannya dengan salat, maka 
ia termasuk orang-orang yang bertakwa.�
Secercah cahaya yang kudapat melalui tausiah sang Kyai pagi ini, membuatku 
tersenyum semringah, mengingat aku yang sudah 12 tahun lamanya berada di pondok 
pesantren ini, tak pernah bosan mengutip barang satu atau dua kalimat setiap harinya, yang ku jadikan sebagai pedoman untuk tetap tabah menghadapi pahitnya dunia ini.
Aku ingat betul hari itu, hari sial yang menimpaku, dan berkat peristiwa yang terjadi
di hari itu, kehidupanku saat ini terasa lebih baik dari sebelumnya. Karena saat ini aku adalah 
seorang santri di salah satu pondok pesantren yang terletak di daerah Banten, Pandeglang 
lebih tepatnya. Dan saat ini akan kutuliskan kenangan pahit itu, akan kuceritakan apa yang 
membuatku dapat bertahan 12 tahun lamanya di pesantren ini. Semua bermula karena hari 
itu:
Hari itu mataku terbelalak melihat hampir sekujur tubuhku dipenuhi dengan darah
yang mengalir keluar dari satu lubang tepat di pundak bagian kanan tubuhku, aku masih ingat 
betapa amisnya aroma yang disebabkan olehnya. Sesuatu telah terjadi dan menimpaku hari 
itu, tetapi aku kebingungan saat melihat sekujur badanku terbaring lesu di atas ranjang, aku 
terbaring lemah di atas ranjang yang di bawa kebut dengan mobil putih yang mengeluarkan 
bunyi-bunyi, aku ingat mobil dan bunyi yang dikeluarkan mobil ini pernah membawa kakak 
belum lama ini sama kebutnya seperti saat membawaku sekarang.
Aku mencoba untuk memikirkan semua ini, aku mencoba mengingat apa yang baru 
saja terjadi, dan mengapa diri ini bisa terbaring di atas ranjang sialan ini, ranjang yang tak 
dapat menyelamatkan nyawa almarhum kakakku saat berbaring di atasnya. Tiba-tiba saja, 
saat aku sedang memikirkan semuanya, seorang wanita separuh baya dengan kacamata hitam 
dan kerudung putih yang menutupi hampir seluruh tubuhnya itu, menegurku dan bertanya 
sesuatu yang tak kuhafal satu pun pertanyaan yang keluar dari bibirnya. Mungkin, sebab 
terlalu banyak darah yang mengucur tak henti-hentinya ini, membuat otakku tak dapat 
berkerja seperti biasanya. Sedikit demi sedikit aku mencoba memaksa otakku untuk bekerja 
lebih ekstra, mengingat-ingat apa yang dapat menyebabkan aku seperti ini. Namun, aku 
hanya dapat mengingat sosok wanita yang duduk di sebelahku ini. Ternyata ia adalah ibuku, 
sosok wanita yang tak pernah bosan memerintahkan diri ini untuk rajin beribadah saat ini 
sedang menemani anaknya yang di bawa kebut dengan sebuah mobil yang tak aku ketahui ke 
mana tujuannya.
Tak habis pikir diri ini melihat sosok ibu yang mau menemani anaknya yang tak jua 
pernah mendengarkan dan menaati apa yang diperintahkan olehnya. Anak durhaka yang tak pernah sekali pun membahagiakannya, anak yang tak pernah berbakti seperti anak-anak 
teman-temannya dan saudara-saudaranya. Aku ingat betul mata lebam ibuku saat itu, 
mungkin karena terlalu banyak mengucurkan air mata, atau memang belum lagi tidur 
semalaman karena mencariku. Aku memang sudah tak berada di rumah 3 hari belakangan ini, 
tepatnya setelah almarhum kakak meninggal. Dendam kesumat dalam diriku memutuskanku 
untuk mencari dan membunuh seseorang yang menyebabkan kakakku harus pergi untuk 
selama-lamanya. 
Umurku dan kakak memang tak terpaut jauh, dan hanya selisih satu tahun saja. Kami 
berdua adalah jawara di sekolah kami saat itu, kakak mengajariku banyak hal, mulai dari cara 
berkelahi melawan satu orang, bahkan sampai melawan 10 orang sekaligus. Tanpa 
sepengetahuan ibu saat itu, aku pernah melihat dan mengikuti kakak datang ke satu
padepokan silat, melihat kakakku yang pandak berkelahi membuatku tertarik juga untuk
dapat berkelahi dan menjadi jawara seperti kakak. Aku belajar teknik silat bersama kakak, 
sebelum memulai pembelajaran, kakak biasa menyuruhku untuk mandi dengan air yang 
ditaburi 7 rupa bunga, aku tak pernah bertanya mengapa aku harus melakukan ritual ini dan 
hanya mengikuti apa yang diperintahkannya. Kami berdua memang terkenal sebagai 
sepasang adik-kakak yang berhasil mengalahkan jawara-jawara sekolahan lain, kami memang 
sudah terbiasa tawuran dan membuat mereka para jawara sekolah lain lari kocar-kacir 
meskipun kami hanya berdua, dan mungkin karena ketenaran kami sebab mereka membenci 
kami. 
Tepat 3 hari sebelum hari ini, selepas pulang sekolah aku dan kakak pergi tawuran 
seperti hari-hari biasanya. Memang sebagai seorang siswa rasanya aku dan kakak terlihat 
seperti orang yang tak terdidik, di umurku yang ke-14 tahun dan terbilang masih sangat muda 
ini, aku tak ingat sudah berapa kali menyabet dan menanamkan bekas luka ke siswa 
sekolahan lain dengan parang andalanku. Hari itu saat aku dan kakak tawuran, kakak terkena 
luka tusuk di bagian perutnya, membuatku harus kabur dan membopongnya sampai ke 
rumah. Sesaat di jalan belum lagi sampai ke rumah, banyak orang yang bertanya tentang luka
yang terdapat di perut kakakku, seketika saja tiba-tiba ambulans datang menghampiri kami 
dan membawa kami pergi melesat cepat. Entah ke mana mereka membawa aku dan kakak 
saat itu, yang aku ingat mereka bertanya kepadaku banyak hal dan menanyakan alamat rumah 
kami. 
Aku ingat posisi dan tempat dudukku saat menemani kakak, dan persis saat ini ibu 
duduk di posisi dan tempat yang sama. Aku berharap nyawaku tak tertolong saat ini, seperti 
nyawa kakak saat itu, karena betapa malunya aku melihat ibu rela mengucurkan air matanya 
melihat anak durhakanya terbaring tak berdaya. Aku dengar suara ibu saat itu yang memohon 
kepadaku untuk sabar bertahan menahan rasa sakit yang kualami, aku terkejut saat itu, untuk 
apa ibuku, bidadari yang satu ini memohon padaku untuk tetap bertahan hidup? Padahal aku 
hanya dapat menyusahkannya dan membebani hidupnya jika aku tetap bertahan hidup.
Mengingat semua itu, tiba-tiba saja aku menangis selepas tak sadarkan diri barang setengah 
jam, berkat sirene ambulans dan teriakan ibuku yang memohon padaku untuk tetap bertahan, 
aku berhasil sadar kembali.

***
Namun takdir berkata lain, aku tak seperti kakakku yang tewas dalam ambulans yang
belum juga sampai ke tempat tujuannya. Meski pundak kananku saat ini bolong karena celurit
yang menancap tubuhku kemarin, setidaknya aku masih bisa pulih kembali seperti biasanya,
dan aku bersyukur dapat bertobat dan sesegera mungkin untuk memohon ampun pada ibuku
atas apa yang selama ini aku lakukan. Dengan hati ikhlas ibu bisa memaafkanku, anak
durhakanya yang kerap membangkang padanya, aku ingat lirik lagu itu, kasih ibu kepada
beta tak terhingga sepanjang masa, benar-benar kurasakan kasih ibu yang tak terhingga.
Dengan rasa bersalah aku ceritakan pada ibu tentang apa yang aku lakukan bersama kakak
selama ini, ibu memintaku untuk meminta maaf kepada para korban dan keluarganya yang
pernah aku lukai. Dan sesegera mungkin aku menuruti perintahnya dan mencari alamat?alamat yang harus aku kunjungi.
Berkat peristiwa yang menimpaku hari itu, ibu yang tadinya tak pernah bertanya
sesuatu tentang sekolahku, langsung mengajakku dan membawaku pergi keluar rumah
menuju tempat dan daerah yang baru pertama kali aku kunjungi itu. Setelah melalui
perjalanan yang banyak menguras tenaga, sampailah kami berdua di suatu tempat, di tempat
itu aku hanya melihat gubuk yang berdiri di depan sebuah rumah. Entah rumah siapa, aku
mengira mungkin ini rumah saudara ibu atau temannya. Benar saja, saat pemilik rumah itu
keluar, ia terlihat akrab dengan ibu, sesaat ibu asyik berbincang banyak hal, ibu menatap
wajahku sebentar dan memperkenalkan diriku kepada sosok lelaki tua, dari keriput di dahinya
dan beberapa helai janggut di dagunya yang terlihat sudah memutih, aku memperkirakan
umurnya telah sampai sekitar setengah abad.
�Nak, kenalkan ini Kyai Hedi, beliau adalah guru ibu saat muda dulu. Saat ini kau
akan menimba ilmu darinya.�
Ternyata lelaki tua di depanku ini adalah seorang Kyai, guru dari ibuku. Karena latar
belakang ibuku berasal dari lingkungan pesantren ini, mungkin itulah sebab dirinya sering
memarahiku ketika aku tak menurutinya untuk menunaikan ibadah salat lima waktu.
Aku tidak terlalu peduli dengan sosok lelaki tua di depanku ini, tetapi, karena ibu
memintaku untuk menimba ilmu darinya, aku hanya bisa menaati apa yang di
perintahkannya, aku menganggapnya sebagai bentuk pembersihan diri atas dosa-dosaku
padanya selama ini jika menuruti apa yang diperintahkan olehnya.
***
Selepas ibu pergi meninggalkanku untuk menimba ilmu di pesantren ini, aku mencoba
untuk berbaur dan mengikuti apa saja kegiatan yang berlangsung di sini. Pertama-tama aku
belum terbiasa saat sepertiga malam dibangunkan untuk melaksanakan salat dan
mendengarkan tausiah Kyai selepas salat subuh. Namun, seiring berjalannya waktu aku
mencoba untuk membiasakan diri, dan lama kelamaan aku mulai menyukai tempat ini, selain
karena orang-orang yang menimba ilmu bersamaku baik-baik, aku juga larut dalam perasaan
yang mendalam saat mendengarkan nasihat-nasihat arif sang Kyai.

Pernah sesekali aku bertanya pada Kyai tentang bagaimana cara berbakti kepada
orang tua, mengingat diri ini banyak salah karena tak pernah berbakti kepada ibu. Dengan
fasih Kyai membacakan satu ayat dan satu hadis Nabi, menerangkan padaku bahwa hanya
doa dan amal anak saleh yang dapat mengantarkan orang tua menuju Surga-Nya. Seketika itu
aku menangis setelah mendapatkan pencerahan dari sosok lelaki tua itu yang juga guru dari
ibuku, aku berpikir, mungkin dengan belajarnya aku di pesantren ini dan senantiasa
mendoakan ibu, aku dapat menghapus seonggok dosa-dosaku ini.
Hari ke hari aku lewati, setiap harinya aku merasa telah mendapatkan secercah cahaya
dalam hatiku yang diberikan Kyai lewat tausiah-tausiahnya di pagi dan malam hari. Waktu
berjalan begitu cepat, kami semua tiba di bulan yang di sucikan oleh umat muslim, sebentar
lagi akan tiba hari yang dipercaya semua umat muslim akan kembali suci seperti bayi yang
baru lahir. Aku menunggu saat itu, ketika teman-temanku satu persatu telah meninggalkan
pesantren untuk pergi berlibur ke rumah masing-masing. Aku menunggu sosok wanita
anggun yang akan menjemputku pulang, aku menunggu ibu datang ke pesantren untuk
sesegera membawaku ke pangkuannya lagi. Aku tak sabar untuk menghabiskan waktuku
yang akan kugunakan untuk berbakti padanya di rumah nanti.
Memang hanya aku santri yang tak pernah menerima telepon dari orang tua, tak
seperti teman-temanku yang lain, hanya selang beberapa minggu selalu mendapat panggilan
telepon dari orang tuanya. Aku hanya bersabar dan menunggu waktu libur untuk berjumpa
dengan ibu, pikirku saat itu. Namun, semua berbeda dari apa yang aku pikirkan, pagi itu Kyai
memanggilku ke rumahnya, hanya aku santrinya yang tersisa untuk bermukim di pesantren
saat itu, yang lain telah pulang ke rumah mereka masing-masing.
Aku terkejut, rasanya aku seperti terkena serangan jantung saat itu, aku baru sadar
dan mengetahui alasan ibu yang tak pernah menelepon untuk menanyai kabarku selama ini.
Saat itu, kata demi kata yang keluar dari mulut Kyai, membuatku mencoba mengulangnya,
mengingat-ingat apa aku sedang berada di dunia nyata atau aku sedang berada di alam
mimpi.
Ternyata aku memang benar-benar harus tabah menerima kenyataan, kalimat yang
diucapkan Kyai pagi itu membuatku tak sadarkan diri beberapa saat, setelah mengetahui
kabar bahwa ibuku telah tiada, ibuku meninggalkan dunia untuk selama-lamanya selepas
mengantarkanku ke pesantren ini. Melalui penjelasan Kyai aku mengetahui bahwa ibuku
mengalami peristiwa tragis, mobil bis yang ditumpanginya untuk pulang selepas
mengantarkanku, mengalami kecelakaan dan menewaskan seluruh jiwa yang
menumpanginya, termasuk sang sopir dan kondekturnya.
Hari itu rasanya menjadi buram, meski langit tampak cerah, apa yang kutunggu
selama ini telah sirna, aku tak memiliki siapa pun lagi untuk pulang. Ayah yang tak pernah
kukenal wajahnya sejak kecil, kakak yang meninggalkanku untuk hidup berdua bersama ibu,
dan kali ini sosok ibu, aku tak tahu harus bagaimana melampiaskan semua rasa rindu ini. Aku
hanya teringat nasihat arif sang Kyai tentang bagaimana bersabar dan menjadi anak yang
saleh agar dapat mengantarkan orang tua menuju Surga-Nya.

Aku termenung, mengurungkan niat untuk pergi liburan ke rumah, yang kupunya saat
ini hanya Sang Kyai, aku akan menghabiskan sisa-sisa hidupku untuk mendengarkan nasihat?nasihat arifnya, aku tak peduli berapa lama aku harus bertahan di tempat ini, karena hanya itu
yang dapat kulakukan. Beramal saleh dan mendoakan ibu.

Karya : Lutfi/Jenong
Sabtu, 22 Juni 2019

Related Posts

There is no other posts in this category.

Post a Comment